Kejahatan Seksual, Tumbuh Subur di Sistem Liberal

Desi Dian S., S.I.kom
Desi Dian S., S.I.kom

TEGAS.CO.,NUSANTARA – Miris, kata pertama yang pantas dilayangkan untuk kasus NWS, mahasiswi PTN di Kota Malang yang mengakhiri hidupnya menenggak racun di makan sang ayah. Peristiwa yang dialami NWS masuk kategori kejahatan dating violence atau kekerasan dalam berpacaran, di mana kebanyakan korban, setiap bentuk kekerasan adalah pelanggaran HAM ungkap kata Bintang Puspayoga Menteri Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (MenPPPA).

Setelah dilakukan pendalaman kasus, terungkap bahwa NWS telah melakukan aborsi sebanyak dua kali yakni pada bulan Maret tahun 2020 dan bulan Agustus 2021. Toxic relationship yang dialami NWS bukan pertama kali terjadi namun kasus NWS menjadi viral karena berbarengan dengan momen Permendikbud Ristek No.30 tentang Pencegahan dan Penanganan Kekerasan Seksual di Perguruan Tinggi baru disahkan dimana terdapat frasa persetujuan (konsen).

Sang kekasih yang menjadi aktor utama dalam kisah ini pun, Bripda Randy Bagus akhirnya ditetapkan sebagai tersangka, Anggota Polres Pasuruan itu kini menjalani penahanan di rutan Polda Jatim dengan pasal 348 KUHP tentang aborsi bukan pemerkosaan. Dilansir dari hidayatullah.com, Kabid Humas Polda Jatim, Kombes Pol Gatot R. Handoko menyebut tidak unsur pemerkosaan atas kasus tersebut karena dilakukan atas dasar persetujuan (konsen).

Gaya hidup sekuler Komnas Perempuan mengungkap kasus kekerasan yang dialami perempuan dalam pacaran adalah jenis kasus kekerasan di ruang privat yang ketiga terbanyak dilaporkan. Setidaknya dalam kurun 2015-2020 tercatat 11.975 kasus yang dilaporkan di hampir 34 provinsi. (www.viva.co.id, 7-12-21).

Aktivitas pacaran yang dianggap lumrah ternyata menyumbang kasus kekerasan yang begitu banyak, sementara saat muncul korban publik berkutat dengan persoalan perjuangan ide liberal dan solusi yang tak menyentuh akar persoalan.

Misalnya kaum feminisme beranggapan individu wajib memperoleh kebebasan, termasuk bergaul bebas. Perempuan tidak boleh dilarang bergaul karena hal itu bermakna membatasi.

Menurut aktivis feminis, kekerasan seksual terjadi karena tidak adanya kesetaraan laki-laki dan perempuan. Jika kesetaraan terwujud, tidak akan ada laki-laki yang menindas dan bahkan melecehkan perempuan.

Selain itu ide-ide liberal terus digaungkan dan menjadi perang opini di sosial media, baru-baru ini Viceind membuat konten Instagram dengan judul “mau diajak ke hotel bukan berarti setuju berhubungan seksual” konten tersebut mendapat banyak respons positif dengan netizen yang beramai-ramai bercerita pengalaman mereka mengisi waktu luang di hotel.

Terlihat bagaimana masyarakat kita telah mengambil ide liberal-sekularis dalam aktivitas kesehariannya.
Munculnya kasus NWS ada kaitannya dengan pergaulan bebas yang marak di lingkungan remaja, mulai melemahnya norma dan aturan agama di lingkungan publik memberi dampak yang signifikan terhadap gaya pacaran anak jaman sekarang, nihilnya kepedulian masyarakat dan kurangnya kontrol negara membuat kasus serupa mudah sekali berulang. Apalagi ide “My body is mine” terus diperjuangkan oleh kaum feminis juga turut andil membentuk trend fashion kebarat-baratan yang sangat menonjolkan sisi sensualitas mereka.

Lantas apakah hanya salah perempuan? Tidak, laki-laki juga mengambil peran yang cukup besar, Islam memerintahkan laki-laki untuk menundukkan pandangan hal ini seharusnya difasilitasi oleh negara dengan menyetop konten pornografi yang bermunculan di internet, pasalnya hari ini konten-konten pornografi masih di konsumsi oleh remaja kita baik sengaja maupun tidak. Hal ini turut andil dalam membentuk pola pikir yang salah dalam interaksi antar lawan jenis.

Persoalan yang Berulang

Maksiat itu akan berhenti jika pintunya ditutup. Pelecehan seksual itu jelas kemaksiatan. Syariat Islam tidak hanya memberlakukan sanksi kepada pelaku tetapi juga memiliki aturan yang bersifat preventif. Syariat Islam berupaya semaksimal mungkin menutup pintu masuk terjadinya pelecehan seksual.

Sebuah solusi bisa digapai ketika individu, masyarakat dan juga negara melakukan sinergi pencegahan sesuai dengan aturan Islam. Dimulai dari individu yang menjalankan syariat Islam yakni perempuan yang menutup aurat dan laki-laki yang menundukkan pandangan.

Kemudian ada peran masyarakat dalam melakukan kontrol sosial sehingga tidak didapati laki-laki dan perempuan untuk berkhalwat/berdua-duaan. Aktivitas pacaran tidak lepas dari khalwat. Dengan sendirinya, dating violence itu gak akan ada dalam Islam. Karena pacaran haram.

Tak kalah penting juga peran negara dalam mencegah terjadinya kekerasan seksual, negara wajib hadir untuk mengontrol ketat seluruh tayangan maupun materi pemberitaan media dan juga di media sosial. Akses pornografi dan porno aksi harus di stop sebab tayangan ini berdampak pada pelampiasan naluri melalui pemerkosaan, pelecehan seksual, dan sejenisnya.

Apabila didapati terjadi kasus kekerasan seksual maka hukum tegas harus dijalankan yakni Jilid 100 kali untuk pasangan yang belum menikah dan rajam untuk pasangan yang telah menikah. Hal ini akan memberikan efek jera kepada pelaku dan tindakan pencegahan agar tidak diulangi dikemudian hari.

Aturan Islam sesungguhnya memuliakan perempuan dengan aturan di atas, bukan untuk membatasi atau mengekang potensi yang dimiliki perempuan.

Reporter: Desi Dian S., S.I.kom
Editor: H5P

 

 

 

 

 

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *