TEGAS.CO.,NUSANTARA – Setelah melakukan kajian melalui Global Education Monitoring (GEM) Report, UNESCO menyarankan setiap negara di dunia termasuk Indonesia, untuk menerapkan pendidikan seksual yang komprehensif.
Dalam kajian GEM ada dua hal yang menjadi sorotan, pertama pernikahan dini yang didapati 15 juta anak perempuan menikah sebelum berusia 18 tahun setiap tahunnya secara global. Sekitar 16 juta anak berusia 15-19 tahun dan satu juta anak perempuan di bawah 15 tahun melahirkan setiap tahunnya di dunia. Usia yang sangat muda dalam bereproduksi inilah yang dikhawatirkan mengganggu potensi generasi muda.
Kedua kesehatan seksual, GEM mengemukakan bahwa orang-orang usia muda juga menyumbang sepertiga dari kasus infeksi HIV baru di 37 negara berpenghasilan rendah dan menengah. Ironinya, GEM Report menemukan hanya sekitar sepertiga dari orang berusia 15-24 tahun yang memiliki pengetahuan komprehensif tentang pencegahan dan penularan HIV.
GEM Report menyebut, pendidikan dapat membantu melindungi diri dari kehamilan yang tidak diinginkan, HIV, dan infeksi menular seksual lainnya, mempromosikan nilai-nilai toleransi, saling menghormati, dan tanpa kekerasan dalam hubungan.
Hal inilah yang menjadi pegangan bahwa pendidikan seks sangat penting dilakukan. Bahkan sampai muncul istilah “Jangan menganggap tabu membahas seks” yang senantiasa nyaring disuarakan sebagai slogan.
Beberapa waktu yang lalu pun sempat viral perbincangan public figure yang mengklaim diri sebagai orang tua yang tidak kolot, dengan enggan melarang anaknya dan memilih menemani menonton video porno. Hal tersebut dilakukan sebagai pendampingan seks education langsung kepada anaknya.
Menanggapi hal tersebut, Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI) Susanto menilai meski diawasi atau ditemani. Konten porno tak boleh ditonton oleh anak-anak sebab tetap memiliki dampak buruk. Oleh sebab itu Dia meminta orang tua berhati-hati dalam mendidik anak dengan tetap memperhatikan etika perlindungan anak.
Upaya Liberalisasi Seksualitas
Materi seksual hampir selalu hadir dalam perbincangan harian semua kalangan. Tak ketinggalan kaum produsen, menjadikan aspek seksual sebagai perhatian demi melipatgandakan volume penjualan. Iklan dibuat dengan menyelipkan materi seksual. Pramuniaga dipilih bukan semata keterampilan dalam menawarkan, unsur sensualitas menjadi tuntutan untuk ditonjolkan.
Di media, unsur seksual adalah komoditas penting agar lebih banyak peminat informasi dan hiburan yang disajikan. Betapa banyak rubrik dan program media yang khusus membahasnya karena memang banyak peminatnya.
Demikian pula, kita dapati majalah, tabloid, dan film berisi konten porno—legal maupun tersembunyi—yang terus diproduksi. Tak ketinggalan di dunia seni, sering kali hadir tak jauh-jauh dari paparan sensualitas perempuan maupun laki-laki.
Program global yang sudah meracuni cara didik orang tua muslim sehingga orang tua tidak menjadikan norma dan agama sebagai pegangan. Bahkan liberalisasi seksualitas ini pun juga menyerang negeri-negeri di Eropa. Pada awal Juni, parlemen Hungaria meloloskan RUU untuk melarang seluruh materi dan program pendidikan anak-anak yang dianggap mempromosikan nilai LGBT dan konsep seksualitas menyimpang.
Atas peristiwa tersebut Perdana Menteri Belanda, Mark Rutte, mengatakan bahwa Hungaria tidak lagi punya tempat di Uni Eropa karena meloloskan rancangan undang-undang yang melarang konten isu lesbian, gay, biseksual, dan transgender (LGBT) di sekolah.
Seks Education dalam Islam
Islam memandang bahwa aspek seksualitas (jinsiyah) harus dipisahkan dari ruang publik. Seks education diajarkan sejak dini melalui penerapan hukum Islam. Dimulai dari pemisahan kamar tidur anak laki-laki dan anak perempuan.
Mengenakan pakaian sesuai gender dan membiasakan untuk bermain sesama jenis hingga saat memasuki usia baligh. Islam memerintahkan untuk menundukkan pandangan dan menutup aurat, melarang khalwat dan ikhtilaf, mengharamkan zina dan liwath, memenuhi naluri seksual dalam hubungan pernikahan, membangun hubungan silaturahmi, serta membangun sikap penuh hormat terhadap lawan jenis sebagai identitas.
Dalam sistem Islam, semua syariat seputar penjagaan dan pemenuhan naluri seksual akan dipastikan implementasinya, bahkan didukung dengan sistem ekonomi dan pendidikan. Penataan media juga akan diselaraskan.
Negara akan mengatur dan mengawasi media massa seperti koran, majalah, buku, tabloid, televisi, situs internet, termasuk sarana-sarana hiburan seperti film dan pertunjukan, serta berbagai media jaringan sosial seperti Facebook, Twitter, dan sebagainya.
Bila lebih mengenal syariat Islam yang syamil—sempurna dan menyeluruh, akan didapati cara Islam menempatkan naluri seksual secara indah selaras dengan tujuan penciptaan manusia. Bukan dengan membebaskan dan bukan pula dengan mengebirinya.
Penulis: Desi Dian S., S.I.Kom.
Editor: H5P