SULTRAMEDIA.ID., NUSANTARA – Akhir-akhir ini pemberitaan mengenai kekerasan dalam rumah tangga (KDRT) marak diperbincangkan. Memang benar, setiap rumah tangga steril dari perselisihan. Namun, jika sudah main kekerasan tentu saja tidak dibenarkan. Jangankan kekerasan fisik yang melukai badan, kekerasan verbal yang menyakitkan hati pun tidak boleh. Tindakan KDRT yang dialami seorang penyanyi dangdut dan tewasnya seorang wanita warga Sulawesi yang diduga KDRT baru-baru ini, sejatinya hanya menambah deretan kasus KDRT yang menimpa perempuan Indonesia
Tidak Cukup Speak Up KDRT
Sekalipun sudah ada UU 22/2004 tentang penghapusan kekerasan dalam rumah tangga (UUPKDRT) yang memuat larangan, hingga sanksi bagi pelaku KDRT, alih-alih berkurang justru tindakan KDRT makin marak. Berdasarkan data Kementerian
Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (PPPA) Hingga ngga Oktober 2022, ada 18.261 kasus KDRT di seluruh Indonesia, di mana 16.745 (79.5 %) kasus dialami perempuan. Kementerian PPPA sendiri tidak pernah berhenti dari tahun 2020 untuk mengkampanyekan dare to speak up yakni sebuah ajakan kepada tidak hanya korban tetapi juga yang mendengar, melihat tindakan KDRT agar berani angkat bicara dan melaporkan. Hal ini sebagai upaya memberikan keadilan terhadap korban dan efek jera bagi pelaku.
Akar Masalah Marak KDRT
Miris sekali, sudah ada instrumen hukum KDRT menaunginya secara khusus untuk menangani KDRT, namun angka kejadiannya tidak juga turun. Persoalannya ada sebagian menganalisa, bahwa masih banyak masyarakat baik korban ataupun yang menyaksikan tidak berani speak up, tidak berani melaporkan persoalan ini ke ranah hukum. Hal ini bukanlah semata-mata maraknya KDRT.
Menurut Ustadzah Ratu Erma, persoalannya adalah hukum yang ada itu tidak mampu menyelesaikan masalah KDRT. Seharusnya sebuah hukum itu dibuat harus bisa menyelesaikan masalah, bukan hukumnya dibuat tapi masalahnya tidak selesai, itu berarti ada sesuatu yang harus kita kritisi. Menurutnya lagi hukum itu harus visioner, mempunyai visi dan mendalam ketika memotret persoalan, analisanya mendalam dan solutif sehingga bisa menyelesaikan masalah.
Ketika suatu hukum tidak memiliki visioner, yaitu berupa pemikiran-pemikiran ideal dimana pemikiran ideal tersebut dirumuskan dan dipandu oleh sebuah pemikiran yang berbasis kebenaran, di luar fakta dan pragmatis, sebenarnya adalah hukum yang bisa menuntun ke arah penyelesaian yang benar.
Dalam Islam, yang harus kita jadikan standar penilaian suatu masalah adalah apakah kejadian itu diperbolehkan dalam Islam atau tidak? Apakah persoalan itu bisa diselesaikan atau tidak? Apakah persoalan itu terpicu oleh suatu fakta yang dihadapi, kemudian apakah pemikiran manusia yang terbatas itu bisa meng-cover semuanya? Hal ini merupakan pemikiran kritis yang harus kita miliki. Jadi aturan yang ada hari ini tidak dipandu oleh pemikiran yang visioner dan tidak memiliki pada visi yang berlandaskan keimanan pada wahyu, melainkan disandarkan pada basis kelemahan pragmatis manusia yang tidak bisa melihat secara keseluruhan.
Sebagai seorang muslim ketika kita menghadapi masalah, maka kita dituntut untuk menyelesaikan masalah itu dengan sudut pandang Islam. Dalam Islam terjadinya kekerasan, itu adalah bentuk kejahatan yang tidak boleh terjadi. Hal itu terjadi karena pelakunya tidak memahami tentang tugas atau fungsi yang seharusnya dalam memerankan diri sebagai seorang yang mendidik, melindungi, membina istri, anak-anak dan keluarganya. Persoalan utama KDRT ini adalah dikarenakan para pelakunya tidak mengetahui hukum tentang keluarga maupun relasi antara suami dan istri, di samping salah dalam memahami firman Allah dalam surat an-Nisa ayat 34.
Solusi Islam
Dalam Islam yang namanya pernikahan itu bagian dari aktivitas manusia yaitu ibadah. Berkeluarga dalam rangka ibadah kita kepada Allah Swt. Sebagaimana yang kita pahami bahwa hidup kita di dunia, semua aktivitas kita di dunia dalam rangka menjalankan amanah kehidupan, yaitu beribadah kepada Allah Swt. Allah berfirman dalam surat ad-Dzariyat ayat 56 yang artinya, “Tidaklah Aku ciptakan jin dan manusia kecuali untuk beribadah kepada-Ku.”
Adapun tujuan berkeluarga itu untuk meraih kesakinahan, yakni mewujudkan Sakinah Mawaddah wa Rahmah. Jadi dalam berkeluarga itu, harus merealisasikan kesakinahan itu. Tidak mungkin kita akan sakinah, tidak mungkin keluarga kita akan meraih ketenangan, kalau dalam menjalani itu kita tidak terikat pada sebuah aturan, atau kita tidak tahu bagaimana aturan main berkeluarga sesuai dengan aturan Islam.
Mengapa perlu memahami hukum seputar keluarga, karena berkeluarga itu penuh dengan romantika, namanya hidup kadang bahagia dan kadang mendapat masalah ataupun kendala rumah tangga. Kalau masalah ini dibiarkan, tanpa diselesaikan dengan aturan yang benar, maka ujungnya kendala itu akan menjadi prahara rumah tangga. Untuk itu kita harus mengkaji terutama hukum Islam seputar keluarga, agar ketika terjadi masalah dalam rumah tangga, dapat diselesaikan dengan tuntas.
Oleh Astuti K. MSc. (Ibu Rumah Tangga)