Diduga Melanggar dan Tidak Memiliki Izin, Kapital Sultra Desak PT. Sambas dan PT. Triple Eight Disanksi

Zona pelanggaran pemanfaatan ruang laut.

NASIONAL, SULTRAMEDIA.ID,.—

Aktivitas bongkar muat yang dilakukan di terminal khusus milik PT. Sambas Minerals Mining (SMM) dan PT. Triple Eight Energi (TEE) diduga telah melanggar dan tidak memiliki perizinan pemanfaatan ruang laut.

Konsorsium Pemuda Pemerhati Investasi, Hutan, dan Lingkungan (Kapital) Sulawesi Tenggara (Sultra) mendesak Kementerian Kelautan melalui Direktorat Jenderal Pengelolaan Ruang Laut untuk memberikan sanksi.

Wilayah perairan pesisir adalah daerah peralihan antara ekosistem darat dan laut yang merupakan bagian dari ruang laut dan tata ruang. Untuk itu, segala bentuk kegiatan di dalamnya wajib memiliki perizinan yang telah di atur oleh beberapa peraturan.

Demikian juga dengan aktivitas pada Terminal Khusus (Tersus) milik PT Sambas Minerals Mining (SMM) dan PT Triple Eight Energi (TEE) yang bertetanggaan.

Pernyataan tersebut disampaikan secara langsung oleh Ketua Kapital Sultra, Yayat Nurkholid saat di temui di salah satu perumahan di Jakarta Selatan, Sabtu (8/4/2023).

Pihaknya menilai bahwa aktivitas di Jetty PT Sambas Minerals Minining dan PT Triple Eight Energi (TEE) telah melanggar Rencana Zonasi Wilayah Pesisir Sulawesi Tenggara dan diduga kuat tidak memiliki perizinan terkait Kesesuaian Kegiatan Pemanfaatan Ruang Laut.

“Jetty PT Sambas dan PT Triple Eight itu terletak di sekitar wilayah pesisir Kecamatan Palangga Selatan Kabupaten Konawe Selatan dimana wilayah itu bukan sebagai kawasan zona pelabuhan maupun industri, melainkan kawasan zona perikanan budidaya,” kata Yayat.

Lanjutnya, pembagian zona pemanfaatan itu tercantum dengan sangat jelas di Perda Sultra nomor 9 tahun 2018 tentang Rencana Zonasi Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil Provinsi Sulawesi Tenggara 2018-2038, kemudian kami menemukan kalau Wilayah Perairan Kecamatan Palangga Selatan merupakan zona perikanan budidaya dengan kode sub zona KPU-BD-BL-18, bukan tempat untuk aktivitas tongkang.

Fungsionaris Pengurus Besar HMI itu juga menyebutkan jika telah melanggar ketentuan Zonasi Wilayah Pesisir, diduga kuat tidak memiliki perizinan terkait Kesesuaian Kegiatan Pemanfaatan Ruang Laut (KKPRL) atau ilegal.

“Karena secara tata ruang, khususnya zonasi wilayah pesisir telah melanggar, sehingga kedua perusahaan itu juga tidak memiliki perizinan Kesesuaian Kegiatan Pemanfaatan Ruang Laut atau KKPRL, baik itu Izin Lokasi maupun Izin Pengelolaan,” sebut Yayat.

Saat ditanya apa langkah yang akan ditempuhnya Yayat kemudian menjawab bahwa pihaknya mendesak direktur Jenderal Pengelolaan Ruang Laut, Kementrian Kelautan dan Perikanan Republik Indonesia untuk segera melayangkan surat dan menjatuhkan sanksi administrasi terhadap perusahaan yang dimaksud.

“Untuk itu kami mendesak dan meminta dengan segera Direktorat Jenderal Pengelolaan Ruang Laut untuk melayangkan surat dan menjatuhi sanksi administratif kepada dua perusahaan itu, kita juga akan meminta klarifikasi kepada kementrian perhubungan terkait perizinan kedua perusahaan itu,” jawabnya.

Diketahui bahwa menurut UU Nomor 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja Pasal 49 setiap orang yang melakukan pemanfaatan ruang laut secara menetap yang tidak memiliki perizinan berusaha terkait pemanfaatan di laut dikenai sanksi administratif berupa peringatan tertulis, penghentian sementara kegiatan, penutupan lokasi, pencabutan perizinan berusaha, pembatalan perizinan berusaha dan/atau denda administratif.

Sedangkan pasal 49B berbunyi setiap orang yang melakukan pemanfaatan ruang laut secara menetap yang tidak memiliki perizinan berusaha terkait pemanfaatan di laut yang mengakibatkan perubahan fungsi ruang dipidana dengan pidana penjara paling lama 6 (enam) tahun dan pidana denda paling banyak Rp 20.000.000.000 (dua puluh milyar rupiah).

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *