Pembangunan Berkelanjutan Ala Mahfud MD, Berasas Supremasi Hukum dan Keadilan

Supremasi Hukum dan Keadilan.

Nasional, Sultramedia – Cawapres RI nomor urut 3, Prof Mahfud MD sampaikan tiga masalah utama penghambat tercapainya pembangunan berkelanjutan pada debat ke IV Pilpres 21 Januari 2024 lalu.

Pertama, tata kelola Sumber Daya Alam (SDA) dan lingkungan yang masih buruk. Kedua, pembangunan yang belum berpihak kepada rakyat dan Ketiga, ketidakadilan tanggung jawab ekologis di tingkat global.

Deputi Politik 5.0. Tim Pemenangan Nasional (TPN) Ganjar-Mahfud, Andi Widjajanto menjelaskan, Indeks Supremasi Hukum (Rule of Law Index) dari World Justice Project menunjukkan bahwa nilai kekuatan penegakkan hukum Indonesia selama tahun 2014 hingga 2022 hanya meningkat dari 0,52 menjadi 0,53.

“Ketika rata-rata global telah mencapai 0,56. Artinya, supremasi hukum di Indonesia lebih rendah dari standar dunia,” Ujar Andi Widjajanto, Senin (29/1/2024).

Lanjutnya, supremasi hukum Indonesia yang lemah membuat banyak mafia merajalela, termasuk pada sektor pangan, SDA, dan lingkungan. Pada akhirnya, rakyat kecil yang paling dirugikan dalam situasi ini. Oleh karena itu, hukum sebagai instrumen perlu dijadikan pedang yang tajam ke atas dan mengayomi ke bawah secara konsisten.

“Hanya dengan cara ini petani, nelayan, masyarakat adat dan rakyat kecil bisa terpenuhi hak sosial ekonominya dan terbebas dari kemiskinan struktural. Kepastian hukum juga akan memberikan dampak positif di sisi kepastian investasi di Indonesia,” ucapnya.

Kepastian hukum, kata Widjajanto, akan menjadi landasan utama dalam mewujudkan tata kelola SDA dan lingkungan yang sesuai dengan prinsip berkelanjutan dan kebermanfaatan untuk rakyat. Oleh karena itu, Ganjar-Mahfud telah menyiapkan beberapa program sat-set dan tas-tes.

Penegakan hukum kasus korupsi termasuk di sektor SDA khususnya energi, perikanan maupun kehutanan akan dilakukan secara konsisten dan adil untuk rakyat dan mendorong implementasi kebijakan satu data dan satu peta terbuka untuk publik secara tuntas.

Sementara itu, pejuang hak masyarakat adat sekaligus Direktur di KeDeputian Inklusi TPN Ganjar-Mahfud, Sandrayati Moniaga menyebut, penegakan hukum melalui pembentukan Satgas Percepatan Penyelesaian Konflik Agraria dan SDA langsung di bawah Presiden.

Mempercepat sertifikasi hakim-hakim agraria untuk menyelesaikan kasus prioritas dalam sengketa agraria. Mendorong penggunaan HGU yang sudah usai atau terbengkalai untuk dikelola secara komunal oleh petani, nelayan, peternak, dan masyarakat adat.

Reforma Agraria Tuntas adalah kunci menuju keadilan agraria yang sesungguhnya. Pengakuan hak masyarakat adat sebagai bagian dari reforma agraria merupakan wujud inklusi yang hakiki. Melalui langkah ini, hak atas rasa aman masyarakat adat dapat dipenuhi sekaligus restitusi hak atas wilayah adat yang semestinya mereka miliki sejak sebelum negara Republik Indonesia eksis ditahun 1945.

Selain itu, perlu diingat pula bahwa 80% dari ekosistem terbaik di bumi ini dijaga oleh masyarakat adat,” kata dia.

Di kesempatan yang sama Prof. Mahfud menyampaikan bahwa krisis lingkungan dan iklim merupakan masalah planet yang mengharuskan semua negara memikul tanggung jawab sesuai dengan kontribusinya terhadap krisis ini agar tercapai keadilan iklim atau climate justice.

Untuk itulah Prof. Mahfud MD melalui medium debat keempat ini menuntut negara-negara kolonial untuk mengganti rugi kerusakan lingkungan yang sudah mereka lakukan sejak dulu kala.

“Pendekatan top-down yang digunakan dalam Kyoto Protocol tidak mewajibkan negara berkembang untuk turut serta mengurangi emisinya,” ujar Andi Widjajanto, Deputi Politik 5.0. TPN Ganjar-Mahfud.

“Kita memerlukan prinsip Common but Differentiated Responsibility (CBDR) untuk mendesak negara-negara yang secara historis sudah lebih banyak mengeksploitasi isi bumi sejak era revolusi industri yang dimulai pada 1750,” ujarnya kembali.

Artinya, negara-negara dengan akumulasi emisi karbon yang lebih besar seperti Amerika Serikat (24,1%) dan negara-negara Eropa (16,7%) harus memikul tanggung jawab penurunan emisi yang lebih besar.

Pada akhir debat, Prof. Mahfud MD sebagai bagian dari keluarga besar Nahdlatul Ulama menyampaikan satu hadits yang sering dikutip oleh Gus Dur yang berbunyi, “Tasharruf Al-Imam Ala ar-raiyah Manutun Bil Maslahah” yang berarti bahwa kebijakan yang diterapkan oleh pemimpin negara haruslah mengutamakan kesejahteraan rakyatnya.

Kutipan tersebut berusaha mengembalikan dasar prinsip penyelenggaraan pemerintahan yang amanah dalam menjaga mandat yang dititipkan oleh rakyat kepada para seorang pemimpin.

Dengan demikian, segala hal yang menghalangi tercapainya kesejahteraan rakyat akan dicapai melalui sikat Korupsi, Kolusi dan Nepotisme (KKN) sebagai fondasi mewujudkan pemerintahan yang bersih, demi terwujudnya Indonesia Unggul yang Adil dan Lestari.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *