Konflik Rusia – Ukraina, Begini Dampaknya Terhadap Impor Gandum Indonesia

Asrul Ashar Alimuddin
Asrul Ashar Alimuddin

TEGAS.CO.,NUSANTARA – Dalam perjalanannya Rusia vs Ukraina memang sudah terlibat konflik pada tahun 1917 saat terjadinya Revolusi Bolshevik. Ukraina adalah salah satu dari banyak negara yang terlibat dalam perang saudara yang brutal sebelum sepenuhnya diambil oleh Uni Soviet pada tahun 1922.

Pada awal tahun 1930-an, untuk memaksa petani bergabung dengan pertanian kolektif, pemimpin Soviet, Joseph Stalin mengatur sebuah kelangkaan makanan yang mengakibatkan kelaparan dan kematian jutaan orang Ukraina. Setelah itu, Stalin mengimpor sejumlah besar orang Rusia dan warga negara Soviet lainnya.

Warisan sejarah ini menciptakan garis patahan yang bertahan lama. Karena Ukraina timur berada di bawah kekuasaan Rusia jauh lebih awal dari pada Ukraina Barat, orang-orang di timur memiliki ikatan yang lebih kuat dengan Rusia dan cenderung mendukung para pemimpin yang condong ke Rusia.

Sebaliknya, Ukraina Barat menghabiskan waktu berabad-abad di bawah kendali pergeseran kekuatan Eropa seperti Polandia dan Kekaisaran Austro-Hungaria, salah satu alasan mengapa Ukraina di barat cenderung mendukung lebih banyak politisi yang condong ke Barat.

Salah-satu perang modern yang terjadi tahun 2014 adalah pertemuan Negara Adidaya Rusia dan Negara Ukraina. Perang Asimetris ini terjadi di perbatasan antara wilayah Barat Ukraina dan wilayah timur yang berbatasan dengan Rusia. Salah satu permasalahan utama yang menyebabkan perang ini terjadi adalah perebutan dalam penguasaan sumber daya alam di wilayah Domestik, Ukraina. Wilayah ini menyimpan cadangan batu bara yang besar. Selain itu, Rusia menginginkan agar Ukraina tetap berada dalam sphere influence-nya.

Gandum atau terigu sudah menjadi bahan pangan utama di Indonesia. Pada saat ini sebagian besar penduduk Indonesia telah mengonsumsi roti dan mie berbahan baku tepung terigu sebagai bahan pangan pokok kedua setelah beras. Pola konsumsi pangan beras dan terigu menyebar ke seluruh wilayah, baik di perkotaan maupun pedesaan, sehingga dapat dikatakan diversifikasi pangan berbasis gandum secara nasional sudah terjadi.

Konsekuensinya, Indonesia menjadi salah satu negara pengimpor gandum terbesar di dunia. Indonesia saat ini masih bergantung 100% dengan gandum impor. Sejak tahun 2011, ada impor 6,3 juta ton gandum dengan nilai US$ 2,5 miliar. Jumlah ini akan terus bertambah karena besarnya permintaan produk gandum di tanah air.

Terjadinya invasi Rusia ke Ukraina ternyata membuat lonjakan harga gandum dunia. Kenaikan harga gandum ini menembus harga tertinggi sejak tahun 2008. Diketahui Rusia merupakan produsen gandum terbesar di dunia, sedangkan Ukraina menempati posisi ke lima. Bahkan keduanya menyumbang sekitar 14% suplai gandum dunia.

Akibat perang tersebut, diprediksi Ukraina tidak akan panen gandum selama setahun penuh. Tentunya hal ini akan berdampak pada beberapa negara tujuan ekspor gandum Ukraina di seluruh dunia. Data Badan Pusat Statistik (BPS), Ukraina merupakan negara pengimpor gandum terbesar di Indonesia.

Diketahui pada tahun 2018 impor gandum Indonesia dari Ukraina mencapai 2,41 juta ton. Kemudian pada tahun 2019 sekitar 2,99 ton, sedangkan pada tahun 2020 tercatat impor gandum dari Ukraina lebih dari 2,96 juta ton. Besaran impor gandum dari Ukraina tersebut menyuplai sekitar 26% total impor gandum Indonesia.

Indonesia tercatat mengimpor biji gandum sebanyak 8,4 juta ton tahun lalu dengan nilai 2,6 miliar dolar AS. Dari jumlah itu, Ukraina yang kini terlibat perang dengan Rusia ternyata menjadi salah satu pemasok terbesar gandum untuk Indonesia. Mengutip data Badan Pusat Statistik (BPS) impor biji gandum tanpa cangkang kode Harmonized System (HS) 10019912 dari Ukraina sepanjang 2021 mencapai 2,07 juta ton atau senilai 624,6 juta dolar AS.

Impor gandum dari Ukraina tersebut tercatat menyalip dua negara besar yaitu Kanada dan Australia. Bahkan di tahun 2020 Australia hanya menyuplai gandum ke Indonesia berkisar 830 ribu ton. Hal ini jauh lebih sedikit dibandingkan dengan Kanada yang mencapai 2,33 juta ton.

Sebenarnya gandum sudah dikembangkan di Indonesia namun belum dapat bersaing dengan komoditas lain, baik kualitas maupun ekonomi. Gandum sudah dikembangkan sejak tahun 2001 di tujuh provinsi, yaitu Sumatera Barat, Bengkulu, Jawa Barat, Jawa Tengah, Jawa Timur, Nusa Tenggara Timur, dan Sulawesi Selatan, namun dalam perkembangannya sampai dengan saat ini areal tanam gandum semakin menurun.

Hal ini disebabkan karena tanaman ini belum memberikan keuntungan yang layak secara ekonomis mengingat produksinya yang masih rendah akibat belum adanya varietas yang mampu berproduksi tinggi, hama dan penyakit tanaman banyak, khususnya cendawan, kesiapan benih kurang, alat pascapanen penyosoh dan penepung belum tersedia, sehingga kualitas hasil gandum di Indonesia belum dapat menyaingi kualitas gandum impor.

Dukungan dan kerja sama antara pemerintah dan swasta diperlukan agar petani dapat meningkatkan produksi gandum. Dalam hal ini swasta menjadi off taker untuk menampung produksi petani. Oleh sebab itu, untuk mewujudkan keberhasilan pengembangan gandum dapat dilakukan melalui keterpaduan antara sub sistem produksi, pengolahan dan pemasaran hasil, agar gandum dapat menguntungkan petani.

Tantangan pengembangan gandum di Indonesia adalah menghasilkan inovasi yang menguntungkan petani. Inovasi seperti varietas unggul yang berproduksi tinggi dan dapat bersaing dengan komoditas lain menjadi sangat penting. Kemudian bagaimana agar gandum dapat memberikan nilai tambah dan kemudahan dalam prosesinya sehingga dapat dilaksanakan petani setempat atau kemudahan dalam memasarkan produk gandum itu sendiri.

Untuk itu, Badan Litbang Pertanian telah membuat konsorsium antara lembaga penelitian, perguruan tinggi dan masyarakat sehingga dihasilkan varietas unggul dan dirumuskan kebijakan pengembangan gandum di Indonesia. Tulisan ini menguraikan kebijakan impor, pengalaman dan kebijakan pengembangan gandum di Indonesia.

Di sisi lain, Ukraina memiliki peran penting sebagai eksportir minyak nabati (HS 15) dunia yang berasal dari bunga matahari (sunflower oil). Pada 2020, nilai ekspor minyak nabati Ukraina mencapai 5,76 miliar dolar AS, berada di peringkat ke-3 dunia setelah Indonesia dan Malaysia yang merupakan negara pengekspor minyak nabati terbesar dunia yang berasal dari minyak sawit. Dengan demikian, konflik tersebut bisa mengganggu keberlangsungan pasokan sunflower oil ke dunia.

Apabila konflik Rusia dan Ukraina terus berlanjut maka bukan hanya Indonesia yang akan mengalami dampaknya, tetapi seluruh dunia akan merasakan dampak tersebut, oleh karena itu seruan Stop War merupakan sebuah himbauan untuk menghentikan konflik tersebut sehingga ekonomi dunia dapat tumbuh pasca di landa Pandemi Covid-19.

Penulis: Asrul Ashar Alimuddin (Statistis BPS Kota Kendari)
Editor: H5P

 

 

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *